Meski awalnya sulit, pria ini berhasil mengajak para petani di sekitarnya menjadi mitra. Ia bahkan mengajak warga yang dianggap tidak terhormat.
Pagi yang dingin, Bobon Turbansyah (53) sudah menyibukkan diri di kebun. Ia memeriksa pohon-pohon tomat dan sayuran yang akan dipanen. Ketika panen tiba, Bobon berada di kebun sejak pagi sampai malam. "Saya harus selalu mengontrol terutama saat sayuran dikemas, supaya kualitas sayuran yang dikirim ke pelanggan tetap terjaga. Packaging harus benar dan bagus, tonase juga harus benar. Setelah mobil berangkat ke pelanggan, baru saya bisa bernapas lega," ujar Bobon.
Usai mencuci tangan, Bobon menyalakan rokok dan mulai bercerita tentang usaha perkebunan sayur miliknya di bangku lebar di bawah pohon yang rindang. Sebenarnya selepas kuliah di Akademi Ilmu Keuangan pada tahun 1980-an, ia sempat bekerja sebagai karyawan.
"Tapi, saya tidak betah kerja di belakang meja. Lalu, Bapak saya menyuruh meneruskan usaha perkebunan kentang di sini. Saya mau, dengan syarat Bapak enggak boleh ikut campur. Bapak setuju," tutur pria yang lahir dan besar di tempatnya tinggal sekarang di Desa Cibeunying, Cibodas, Lembang, Kabupaten Bandung.
AJAK PETANI JADI MITRA
Sejak itu, Bobon menekuni perkebunan kentang. Usahanya maju pesat. Tahun 1993, ia ditawari BLPP untuk bekerja sama dengan konsultan Jepang untuk menanam sayuran asal Negeri Matahari Terbit itu. Rupanya, dataran tinggi tempatnya tinggal cocok ditanami tomat Jepang, horenso (bayam Jepang), nasubi (terong Jepang), edamame (kedelai Jepang), kyuri (timun Jepang) dan sebagainya.
Benih yang dibawa langsung dari Jepang dapat tumbuh subur di pedesaan berhawa sejuk tersebut. Saat ditawarkan ke swalayan-swalayan di Jakarta yang pelanggannya kebanyakan orang Jepang, ternyata sayur hasil panenan Bobon disambut positif. "Mereka minta dipasok secara rutin hingga sekarang," ujarnya.
Bobon membutuhkan lahan lebih luas lagi untuk memenuhi permintaan mereka. Untuk menyiasatinya, ia mengajak petani-petani kecil di sekitarnya untuk menjadi mitranya. Bobon yang didampingi konsultan dari Jepang menyediakan bibit, para petani itu tinggal menanam dan merawat sampai panen. "Bukan hal mudah mengajak petani menjadi mitra. Awalnya hanya tiga orang yang mau."
Namun, keberhasilan Bobon membuat petani tak keberatan bekerja sama. Bayangkan saja,oleh pelanggannya, Bobon boleh menentukan harga sayur. Tomat, misalnya, sekarang dijual Bobon dengan harga Rp 15 ribu/kg, bayam Rp 6 ribu/kg, edamame 14 ribu/kg. "Ternyata hasilnya menggiurkan. Dari situ, banyak petani yang ingin menjadi mitra," papar Bobon.
Begitulah, akhirnya banyak petani yang menjadi "pegawai" Bobon. Bobon pun tetap menomorsatukan kualitas produknya. Itu sebabnya, ia selalu mengawasi langsung saat sayuran datang ke rumah dan dipilah-pilah untuk dikemas. Penempatan pegawai pun diperhatikan betul olehnya. "Orang yang menyortir sayuran tidak bisa sembarangan, supaya sayur yang dipilih harus benar-benar yang bagus," ujar Bobon.
Hebatnya, selain mempekerjakan pegawai yang "sehat", Bobon juga memberdayakan orang-orang yang sebelumnya dianggap "sampah" masyarakat. Antara lain pecandu narkoba, peminum minuman keras, bahkan penderita gangguan jiwa. Bobon berhasil mengubah mereka menjadi pekerja keras dan meninggalkan masa lalu yang suram.
"Dua pria itu dulunya preman terminal. Tapi, sekarang mereka harus bekerja keras dan mengeluarkan keringat," ujar Bobon sambil menunjuk ke arah dua pria di kebun tomat yang tengah sibuk mencangkul. "Dengan bekerja keras dan mengeluarkan keringat, mereka akan sembuh."
Selasa, 25 September 2007
Kisah Petani Sayuran जेपंग
Diposting oleh ABU UKASYAH di 16.27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar