Evi Purwaningsih (32) hampir seumur hidupnya harus merelakan kakinya terkulai lemah karena polio. Meski demikian, hingga lulus SMEA ia selalu belajar di sekolah umum. Kenyataan hidup mengempaskannya. Saat melamar kerja, Evi selalu menerima jawaban penolakan.
"Lulus SMEA saya sempat mencari kerja ke mana-mana tapi tidak ada perusahaan yang mau terima saya sebagai difabel," tuturnya beberapa waktu lalu di Solo.
Tidak ingin berputus asa, tahun 1995 ia mengikuti kursus membuat tas rajut di kelurahan tempat ayahnya bekerja. Bersama para ibu PKK, hasil buatan tasnya justru yang dipilih oleh toko yang sebelumnya berjanji akan menyalurkan hasil karya peserta kursus yang dinilai layak jual.
Sayang dalam perkembangannya, usaha ini surut seiring menurunnya permintaan. Evi lalu ikut kursus menjahit di Semarang selama empat bulan. Karena baru pertama kali itu menjahit padahal jadwal praktik hanya dua kali, membuatnya kesulitan mengaplikasikannya.
Tahun 2000, usaha kerajinan tas mote sedang naik daun. Menuruti ajakan sang adik, Evi ikut kursus membuat kerajinan mote di toko tempatnya bekerja. Hasil kerjanya yang rapi membuat karyanya dipercaya toko itu untuk dipasarkan. Meskipun awalnya setengah terpaksa, menekuni kerajinan mote kini menjadi mata pencaharian Evi.
"Saya sekarang malah kebanjiran order untuk memasang furing tas mote," kata Evi.
Usahanya semakin maju berkat promosi dari mulut ke mulut. Kini ia mampu meraup penghasilan bersih tiap bulan Rp 400.000, dari hasil menyelesaikan pesanan tas mote yang diberi harga Rp 100.000-Rp 750.000.
Ia juga mengajarkan kembali keterampilannya pada orang lain. (Sri Rejeki)
sumber : kompas, jumat 31 maret 2006
Jumat, 14 September 2007
Kisah Sukses Difabel Menjadi Wirausaha
Diposting oleh
ABU UKASYAH
di
17.27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar