Rabu, 03 Oktober 2007

Suka Duka Teacher Training Program di Jepang

sekarang saya akan tampilkan kisah suka-duka kulia di jepang. kisah ini saya ambil dari blognya saudara murni ramli http://murniramli.wordpress.com.(makasih ya...) semoga bisa jadi pelajaran bagi para pembaca khususnya temen2 yang mau brangkat ke jepang nih...sukses yah...!!

Tahun 2004 saya lolos seleksi program training guru ke Jepang yang disponsori oleh Kementerian Pendidikan Jepang, Monbukagakusho. Pada tahun yang sama terdapat 10 orang yang lolos dari kurang lebih 300 pendaftar dari seluruh Indonesia.

Program ini biasanya mulai diworo-worokan oleh Japan Embassy bulan November hingga Januari. Seleksi dilakukan secara bertahap, pertama seleksi dokumen, yang terdiri dari formulir dari Embassy, transkrip dan ijazah yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, rekomendasi atasan dan surat keterangan masih mengajar dari sekolah, juga dalam bahasa Inggris.

Bagi peserta yang lolos seleksi dokumen selanjutnya harus mengikuti ujian tertulis bahasa Inggris, jika score yang didapat cukup baik, maka langkah selanjutnya adalah wawancara di Embassy. Angkatan saya, yang maju ke tahap wawancara 13 orang. Content wawancara sama sekali tidak berat, hanya pertanyaan ringan yang berusaha menggali minat kita kepada Jepang, baik pendidikan dan budayanya, plus tentu saja berusaha mengorek kemandirian kita hidup di negeri asing.

Sewaktu mengikuti wawancara saya masih ingat Bpk Ueda, bagian pendidikan embassy Jepang yang mewawancarai bertanya *Ogenki desu ka ?*, dan saya jawab, *haik, genki desu!*, padahal saya masih dalam keadaan sakit typhus, cuma merasa agak sehat pas wawancara. Selama 1,5 bulan saya harus bed rest gara-gara penyakit typhus yang selalu saja muncul kalau saya mulai sibuk dan lupa makan.

Peserta yang lolos wawancara akan diberi formulir baru untuk diisi ulang dan dilengkapi dengan pilihan 3 universitas. Saya memilih 3 Universitas yang sebelumnya sudah saya cek profilnya di buku panduan TT di perpus Embassy, juga surfing internet. Tiga universitas tersebut adalah Tsukuba Daigaku, Shizuoka Daigaku dan Nagoya Daigaku. Alhamdulillah saya diterima di Universitas Nagoya.

Program yang berlangsung selama 1 tahun plus 6 bulan belajar bahasa Jepang jangan dianggap persis sama seperti yang ditulis di brosurnya. Ternyata program teacher training di seluruh universitas Jepang yang dirujuk oleh Monbukagakusho untuk menerima peserta asing, pelaksanaan dan mutunya tidak sama. Beberapa rekan mengaku professornya tidak berkontribusi banyak, sehingga dia lebih banyak jalan-jalan, karena uang beasiswa sangat-sangat besar (175.000 yen, tahun ini turun menjadi 172.000 yen), suatu angka yang membuat iri mahasiswa Jepang.

Beruntunglah karena program TT di Nagoya Univ mempunyai komite khusus, sehingga course lumayan lengkap. Selain harus mengikuti kelas wajib tentang `Pendidikan di Jepang` sebanyak 15 kali kuliah, juga kunjungan sekolah, kita pun diharuskan melakukan riset dan presentasi. Beberapa rekan peserta TT yang lain, tidak hanya dari Indonesia, mengatakan bahwa di universitasnya tidak ada program seperti itu. Mereka sendiri yang harus merancang kuliah yang ingin diikuti.

Tidak hanya itu, kendala bahasa semakin mempersulit langkah. Kewajiban belajar bahasa jepang selama 6 bulan tidak cukup untuk memahami perkuliahan yang 100% berbahasa Jepang. Beruntung pula saya karena di Nagoya Univ tersedia course bahasa Jepang, dan saya mengikutinya hingga level Advance. Beberapa universitas tidak memiliki course bahasa Jepang dan mengirimkan mahasiswa asing untuk belajar bahasa di Nagoya Univ. Misalnya, Aichi Kyouiku Daigaku (semacam IKIP-nya provinsi Aichi), universitas ini sering menjadi pilihan banyak peserta TT karena kelengkapan major field yang dimilikinya.

Saya pribadi, sekalipun mendapat Universitas yang lumayan terkoodinir kegiatan TT-nya tetap memendam kekecewaan, karena sekalipun tertulis dalam booklet ada kunjungan ke sekolah-sekolah, selama 1 tahun, tak satupun sekolah yang kami kunjungi. Setelah saya cek, ternyata karena koordinatornya adalah dosen di bidang sosial science sehingga kunjungan lebih diarahkan ke museum komik, play group dan woman center. Sebagai guru, satu-satunya yang ingin saya lihat adalah bagaimana sekolah, classroom, atau guru mengajar di Jepang. Maka untuk mengantisipasi ini, saya mengikuti program `International Course` yang diselenggarakan di banyak sekolah SD, SMP, SMA di provinsi Aichi, Mie, dan Gifu. Program2 ini biasanya kita bisa dapatkan infonya di papan pengumuman Foreign Student Center di setiap Universitas, atau yang ada di setiap fakultas. Memang harus rajin mengeceknya setiap hari. Dalam program tersebut, kita diminta untuk mempresentasikan negara masing-masing atau mengenalkan permainan tradisional kepada anak-anak. Melalui program inilah saya berkenalan dengan banyak kepala sekolah dan guru. Oya, hal yang penting yang harus selalu kita bawa adalah kartu nama.

Setiap peserta TT akan mempunyai Advisor Professor. Kepadanyalah kita bertanya dan berkonsultasi tentang apa yang ingin kita kerjakan selama program. Professor saya adalah Takeo Ueda, beliau memperdalam bidang manajemen pendidikan. Tetapi prinsip belajar di Universitas Jepang sangat beda dengan Indonesia. Professor tidak pernah menyuruh harus ini harus itu, tetapi dia akan menyerahkan semua keputusan kepada mahasiswa. Jadi kita benar-benar free menentukan course yang akan kita ambil selain program wajib. Ini yang terkadang menyulitkan bagi mahasiswa Indonesia yang terbiasa dg model belajar `disuapin sampai ke mulut`, hingga terkadang program selsesa, tak ada pengetahuan berarti yang diperolehnya. Sekali lagi kendala dalam hal ini adalah bahasa Jepang. Karena semua course berbahasa Jepang maka banyak mahasiswa memilih tidak mengikutinya.

Saya barangkali termasuk orang yang keras kepala dalam belajar. Ketika program bahasa 6 bulan, seharusnya tidak ada kewajiban mengambil kuliah di fakultas pendidikan, tetapi saya sudah ingin tahu seperti apa kuliah-kuliah pendidikan itu ? Karena saya berlatar belakang pertanian (IPB), maka saya begitu tertarik mempelajari bidang baru. Jadi saya menyampaikan kepada Prof, kalau saya mau hadir di seminar Souya, suatu seminar yang mempersiapkan mahasiswa S1 untuk kunjungan lapang ke distrik Souya, Hokkaido, dan salah satu kuliah tentang kyouiku keie (educational administration) yang diasuh langsung oleh Prof Ueda. Tentu saja beliau agak ragu karena saya tidak bisa berbahasa Jepang, tapi saya dengan sedikit memaksa mengatakan bahwa saya harus belajar bahasa Jepang melalui kuliah-kuliah ini, akhirnya beliau menyetujui. Bisa dipastikan, ketika ikut kuliah pertama kali, saya benar-benar blank, untunglah saya duduk di dekat Professor, dan beliau menuliskan beberapa kata dalam bahasa Inggris. Tetapi saya tidak kapok, saya tetap hadir di 2 course tersebut selama 2 semester, bahkan berangkat ke Souya sebanyak 2 kali. Sedikit banyak kosa kata bahasa Jepang yang berkaitan dengan pendidikan meningkat. Karena dalam course bahasa Jepang, kita tidak akan belajar kosa kata khusus seperti ini, sebab course diikuti oleh mahasiswa dari beragam fakultas.

Selain course berbahasa Jepang di fakultas pendidikan, saya juga mengikuti 4 course berbahasa Inggris di Graduate School of International Development, dengan status sebagai audit student. Artinya hanya hadir kuliah dan tidak dibebani dengan presentasi dan laporan akhir. Tapi saya memilih presentasi di salah satu course. Ketiga course tersebut adalah `Comparative and International Education`, Educational Development Planning and Evaluation, Education Development Policies yang kesemuanya membahas kebijakan makro bidang pendidikan di tingkat pemerintahan negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Sebuah course tentang penelitian kualitatif juga saya ambil tapi hanya pada semester ganjil. Selain itu saya juga hadir di course `Education in Japan` yang disampaikan oleh Prof Robert Aspinall, dosen Shiga University, (dosen tamu di Nagoya University), dan sempat mempresentasikan tentang religious education di Indonesia.

Semua perkuliahan yang kita ambil hendaknya didiskusikan dengan academic advisor, karena bagaimanapun juga kita di bawah supervisi beliau.

Kritik terhadap kunjungan sekolah yang tidak terprogram saya sampaikan langsung kepada Prof Ueda, dan barangkali karena melihat betapa eagernya saya, beliau akhirnya selalu menawarkan setiap kali beliau ada tugas kunjungan ke sekolah, simposium/seminar nasional. Saya bahkan `tidak malu` meminta ijin professor lain untuk ikut program kunjungan sekolahnya, yang membuat professor saya repot karena harus memintakan ijin juga. Di Jepang, adab perijinan sangat dihormati, karena kehadiran kita di suatu tempat yang kita bukan undangan atau anggota dianggap sangat mengganggu, apalagi saya mahasiswa asing, berjilbab pula ! Termasuk makhluk langka di Jepang !

Alhasil upaya saya `merengek` ke beberapa professor membuat saya agak dikenal di kalangan mereka, dan ketika saya menyatakan akan ikut ujian masuk program doktor, semuanya menyemangati. Ini yang sangat saya sukai di Jepang, semua professor dengan lab dan penelitiannya masing-masing sangat terbuka mengundang kita untuk hadir di seminar-seminarnya, bahkan seminar tingkat nasional yang rutin diadakan di Jepang.

Saya bahkan pernah datang sendiri ke Tokyo mengikuti simposium pengembangan sekolah tingkat nasional, yang merupakan pengalaman pertama hadir di forum nasional tanpa ditemani professor. Kebetulan saya mengenal Prof Masaaki Katsuno, seorang dosen di Tokyo Univ, melalui jasa baik Prof Ueda ketika kami sama-sama menghadiri simposium di provinsi Nagano. Kedatangan saya sudah saya infokan via email kepada Prof Katsuno. Prof Ueda pun mengirim email yang isinya pesan untuk hati-hati di jalan, kirimkan salam dan jangan lupa sampaikan permohonan maaf karena tidak bisa hadir…bla…bla…. Saya merasakan kehangatan hubungan antar professor di Jepang, sekalipun mereka sangat santun dalam berbicara satu sama lain, dan sangat memegang prinsip senioritas (Prof Katsuno adalah Asssociate Prof di Tokyo Univ, sedangkan Prof Ueda sudah Prof penuh).

Liburan di Jepang sangat banyak, saya termasuk orang yang menggemari travelling. Tapi saya tidak mau rugi kalau cuma jalan-jalan tanpa mengunjungi sekolah atau bertemu dengan orang yang minat dengan pendidikan. Jadi saya pernah berangkat sendiri ke provinsi Ehime yang terletak di Shikoku island (13 jam perjalanan dengan kereta lokal dari Nagoya) untuk menghadiri seminar sebuah NGO yang berkecimpung di bidang Education for Sustainable Development, yang saya mengenal leadernya melalui Workshop ESD di Nagoya University tahun 2005. Suatu perjalanan panjang yang diliputi perasaan was-was karena terjadi badai di shikoku dan semua kereta dihentikan untuk sementara. Saya tidak minta ijin Prof Ueda untuk pergi ke sana, suatu kekhilafan, kalau terjadi apa-apa di jalan. Tapi dalam sebuah kesempatan saya pernah bercerita kepada beliau tentang hal ini, dan beliau mengomentari dengan kata `hebat ! tapi lain kali harus bilang-bilang !`

Presentasi laporan akhir TT berlangsung di bulan Maret sebelum para peserta harus pulang pada akhir Maret. Saya membuat laporan akhir tentang fungsi kepala sekolah dan organisasi sekolah, berdasarkan interview kepada 5 orang kepala sekolah dan studi literatur. Penelitian di level TT tidak berat, bahkan rekan yang lain hanya mengcopy paste dari internet, no observation, no interview, no survey. Pokoknya sekedar ada laporan lah ! Sayangnya laporan saya berbahasa jepang dan belum ada waktu untuk menterjemhkannya ke bahasa Indonesia.

Lepas dari keberuntungan mendapat beasiswa yang besar, pengalaman yang banyak, sebenarnya para guru juga dirugikan dengan harus meninggalkan tugas-tugasnya di sekolah. Beruntunglah saya sebagai guru di sekolah swasta yang sangat tidak mengikat status kepegawaiannya, rekan-rekan yang diutus oleh sekolah negeri mempunyai tanggung jawab yang lebih besar mungkin jika menghabiskan 1.5 tahun diluar kedinasan.

Bagi rekan-rekan yang ingin ikut program ini, silahkan buru-buru mendaftar ke Embassy atau konsulat Jepang, 31 Januari 2007 deadline !



Tidak ada komentar: