Minggu, 16 September 2007

Kisah seorang freelancer

berikut ini aku sisipkan kisah hidup mas nursalam, semoga bisa jadi inspirasi buat yang lain...
Memang bisa berbisnis?
Demikian pertanyaan-pertanyaan yang sering mampir kepadaku. Sebagai penerjemah lepas alias freelancer yang tengah meretas bisnis biro penerjemahan berbendera ALTRANS (Aksara Lingua Translation), barangkali pilihan jadi freelancer atau bisnis kecil-kecilan sekarang bukan pilihan yang teramat sulit diputuskan. Pertama, karena tidak punya ijazah sarjana jadi ya tidak mungkin jadi PNS seperti beberapa orang kawan yang ngotot ikut tes berkali-kali kendati gagal pula berkali-kali. Kedua, jadi freelancer atau bisnis bukan soal kemampuan atau bakat. Tapi soal semangat dan minat. Ketiga, freelancer dan berbisnis sebetulnya bukan hal asing dalam hidupku atau keluargaku.





Ayahku (aku memanggilnya aba) termasuk pelopor di kalangan keluarga besarnya yang memulai bisnis rumah kontrakan. Di saat saudara-saudaranya berfoya-foya dengan hasil penjualan tanah warisan hanya sekedar untuk kebutuhan konsumtif atau naik haji, ia memilih bertahan tidak menjual tanah warisan dan membangun rumah kontrakan bermodal tabungan gajinya sebagai montir di sebuah bengkel mobil Fiat milik seorang Italia. Ibuku,--di saat zaman susah selepas aba memutuskan keluar dari bengkel pada 1970an dan jadi montir panggilan (freelance) dan juga berbisnis rumah kontrakan—turut membantu menjadi pedagang kue. Ia bikin kue cincin dan menitipkan jualannya pada warung-warung terdekat. Sering juga ibu bantu-bantu jadi tukang masak bayaran pada acara nikahan atau hajatan tetangga.



Masa-masa itu zaman sulit betul, cerita aba. Penghasilannya pasca keluar dari bengkel tak menentu dan belum stabil sementara kakakku nomor tiga baru lahir. Total keluargaku 8 orang. Sepasang orangtua plus 6 anak yang bertahan hidup. Bertahan hidup? Ya, jika dihitung dengan total bayi yang keluar dari rahim ibuku semuanya 12 orang. Enam orang meninggal saat di kandungan. Maklum, ibuku menikah pada usia dini, 16 tahun. Jadi beberapa di antara saudaraku ada yang lahir apit bangke. Istilah orang Betawi untuk anak yang kakak dan adik yang persis di bawahnya meninggal dunia.



Kakak pertamaku, Drs. Khaeruddin AR yang seangkatan kuliah sastra Indonesia dengan Kurnia JR dan Yanusa Nugroho di FS-UI, juga pernah jualan koran semasa SD. Demikian juga kakak ketiga, Ahmad Satiri. Ditarik garis lebih jauh, sebetulnya berbisnis atau berdagang rasanya sudah jadi kultur masyarakat Betawi. kakek-kakek atau kumpe’ (istilah buyut untuk orang Betawi) dalam keluarga besarku juga pedagang. Meski umumnya dagangannya seragam: penjual buah dari hasil kebun sendiri. Tak heran daerah Pasar Minggu yang hanya sekitar lima kilometer dari rumahku terkenal sebagai sentra buah-buahan sampai diabadikan dalam lagu. Daerah sekitar Pasar Minggu seperti Condet, Kalibata, Pancoran memang sarat dengan perkebunan buah. Meskipun kini itu hanya masa lalu.



Berbeda dengan etnis Cina atau Padang yang melembagakan kultur tersebut, orang Betawi yang mungkin karena filosofi hidup yang mengalir, spontan dan santai tidak menjadikan budaya bisnis tersebut sebagai sesuatu yang patut diwariskan atau dilembagakan. Segalanya tergantung sikon. Pilihan orang tua waktu itu berdagang lebih sebagai bentuk perlawanan pasif terhadap penajahan Belanda sehingga memilih tidak jadi pegawai negeri atau bekerja dengan Belanda atau tidak menyekolahkan anaknya ke sekolah milik Belanda. Kendati hal tersebut di jangka panjang menyulitkan eksistensi Betawi di birokrasi.Berbeda dengan suku Jawa yang tak ragu-ragu jadi pangreh praja semasa jaman kolonial.



Nah, darah atau semangat wirausaha itu yang diam-diam mengalir dalam diriku. Aku tak pernah bercita-cita jadi pedagang. Juga tak pernah diwanti-wanti atau disarankan jadi pedagang oleh orangtuaku. Berbeda dengan anak-anak tetanggaku yang etnis Cina atau Minang yang secara sadar dilatih sejak kecil untuk jaga warung atau cari uang. Aku lalui masa kecil dan masa remaja dengan mengalir. Jika pun ada aktivitas berdagang, itu lebih karena tuntutan sikon. Seperti semasa SD, kami sekeluarga gotong-royong memetik rambutan dari kebun sendiri dan menggelarnya di depan rumah. Ini acara bersama semata-mata biar dapur ngebul. Saat itu sudah lazim sarapan dengan sebutir telur digoreng dan dipotong empat. Atau jika tak ada lauk, makan berlauk garam dan kecap yang diaduk. Semua lebih karena sikon.



Semasa kecil aku bukan anak yang bahagia. Aku tumbuh sebagai anak yang minderan, jarang bergaul dan pendiam. Aku tidak becus main layang-layang atau keterampilan tangan. Belajar naik sepeda pun tergolong telat, pada kelas 5 SD. Di saat sebagian temanku nekat naik sepeda motor. Itu kontras sekali dengan kondisiku sebelum usia 4 tahun.



Menurut cerita keluargaku, aku sebelum usia 4 tahun sangat ceria, aktif dan gesit. Bahkan konon usia dua tahun sudah bisa memanjat tangga ke pohon belimbing yang dulu ada di depan rumah. Semuanya berubah pada usia 4 tahun. Aku mengalami susah kencing. Sakit sekali jika ingin buang air kecil. Karena keterbatasan biaya, aku cuma dibawa berobat jalan ke tabib atau dukun. Hingga akhirnya aku divonis mengidap kencing batu. Karena sakit, aku jadi malas dan tidak bisa beraktivitas. Hanya mengurung diri di rumah. Temanku cuma TV dan buku. Sampai usia 6 tahun aku hidup dalam kesunyian.



Ketika masuk SD kelas 1 pada 1983 pun aku satu-satunya anak yang jika jam istirahat tiba hanya duduk di bangku kelas sambil memandangi teman-teman bermain. Sebagian masa kelas 1 SD pun aku dijalani di rumah. Karena sakitku tambah parah sehingga sulit untuk mengikuti pelajaran di sekolah. Dua bulan menjelang ujian kenaikan kelas, aku tak bisa ke sekolah. Alhamdulillah, guru kelas 1 waktu itu, Bu Satimah mengizinkanku belajar di rumah. Tiap hari ia selama dua bulan itu ia membawakan materi pelajaran dan mengajariku. Bahkan aku diperkenankannya mengerjakan ujian di rumah dengan pengawasannya sendiri.



Konon, inisiatif Bu Satimah itu tidak mudah disetujui pihak sekolah karena alasan tidak prosedural.Tapi karena kegigihannya usulan itu lolos juga. Aku sendiri berhasil lulus ujian dan berhak naik ke kelas dua. Tapi karena pertimbangan pengobatan orang tuaku memutuskan aku istirahat setahun dulu. Setahun yang sunyi.Menahan sakit dan berobat terus-menerus. Sayang waktu itu belum dikenal home schooling. Derita itu berakhir pada usia 7 tahun, setahun kemudian, saat aku dioperasi di RS Polri Sukanto,Kramat Jati, Jakarta Timur. Biaya operasinya aku ingat betul Rp 300 ribu. Itu dana pinjaman dari Bang Cacan, tetangga pemilik warung tempat ibuku biasa menitipkan jualannya.



Lewat operasi, batu sebesar kepalan tangan bayi dikeluarkan dari kandung kemihku. Berangsur-angsur aku pulih secara fisik. Tapi secara mental perlu waktu lama. Ketika masuk kembali ke sekolah di kelas 2—semestinya aku sudah kelas 3—aku masih mengalami minder hebat. Tapi di kelas 3, seorang guru kelas menunjukku jadi pembaca doa dalam barisan petugas upacara. Rasanya itulah momentum titik balik. Aku merasa mendapat kepercayaan diri.Bayangkan aku yang minderan berdiri di depan ratusan anak membacakan doa yang tertulis dalam teks bahasa Arab!



Suatu hal yang biasa buatku yang dididik mengaji sejak kecil atau mungkin juga bagi anak Betawi seusiaku saat itu. Sejak itu, aku mulai aktif berorganisasi.Awalnya pramuka. Dengan berorganisasi aku dapat teman dan bergaul. Ketika dipercaya mendapat tugas modal kepercayaan diriku bertambah. Sampai meninggalkan bangku kuliah pada 2001, aku tercatat pernah ikut pramuda, dokter kecil, mading, paskibra, teater, rohis, tabloid kampus, bulletin musholla, senat mahasiswa, BPM fakultas, unit dakwah kampus, MPM-UI, PMII, KAMMI, dan LSM.



Bekal organisasi dan kemampuan menulis itulah yang menuntun diriku jadi percaya diri. Tapi juga kegilaan organisasi juga yang membuat kuliahku tidak tuntas. Meski sebetulnya tak layak menyalahkan organisasi karena sebetulnya itu lebih karena depresiku pasca kematian ibu.



Kematian kakak sulungku sebagai mentor menulis pada 1993 saja sudah mengguncangku. Kala itu aku kelas 1 SMA dan sudah sering menulis humor atau cerita anak sejak SD dan SMP di beberapa majalah anak dan media cetak nasional. Setelah kakaku meninggal, semangatku anjlok. Frekuensiku menulis dibandingkan masa-masa sebelumnya menurun. Aku menyibukkan diri dengan organisasi. Hanya beberapa kali aku menulis sewaktu SMA. Terakhir kali waktu sayembara HUT ke-25 TIM dan aku menyabet juara I. Penghargaan itu datang beberapa bulan setelah abangku meninggal. Sehingga ketika datang ke TIM untuk naik ke panggung aku membayangkan andai yang bersama melihatku menerima piala di panggung adalah abangku tentu ia akan lebih bangga. Karena sebagai mentor ia benar-benar mengajariku dari nol. Dari belajar mengetik pada tuts mesin ketik manual hingga cara membuat paragraph pada tulisan hingga mengoreksi tulisanku. Bahkan ia pernah mengajak dan mempromosikanku ke redaksi Bobo dan Ananda serta mengatakan bahwa aku akan jadi penulis hebat nantinya.



Pasca kematian ibu, IP -ku dropped. Itu pada semester kedua kuliah di UI. IP 2,75 anjlik jadi 2,10. Aku tertekan. Mungkin sindrom kesedihan bersenyawa dengan kegiatan organisais yang menggila. Sebetulnya soal organisasi ada pesan “aneh” dari abangku saat itu. Nanti pas kuliah jangan masuk rohis pas kuliah, pesannya. Belakangan aku maklum saat itu ia tahu angkatannya yang ikutan rohis banyak yang tidak lulus karena sibuk berorganisasi. Anehnya menjelang akhir-akhir aku “cabut” dari UI, aku datang ke kampus hanya untuk rapat organisasi atau berkegiatan di pers kampus. Ada kekecewaan juga terhadap sistem perkuliahan dan birokrasi kampus serta teman-teman seorganisasi. Terlebih aku mulai mengenal dunia kerja dan jadi reporter lepas yang honornya lumayan.



Di saat SKS tinggal 20 tersisa, pada 2001 aku memilih keluar alias men-DO-kan—dengan nilai IPK terakhir IPK 4, karena cuma ikut 1 mata kuliah dalam 1 semester--karena kesal dengan pembimbing konselingku dan konflik dengan aba. Pasca kematian ibuku, keluarga kami memang tidak harmonis. Tampaknya berat bagi aba berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus atau single parent. Sejak tahun kedua, aku sudah membiayai kuliahku sendiri termasuk membiayai kebutuhanku sendiri. Itu salah satu faktor yang membuatku berpikir tak ada beban untuk keluar dari UI.



Hengkang dari UI, aku kerja di www.kitakita.com, beritajkt.com, dan mengajar bahasa Inggris di yayasan sosial. Sebelumnya ikut kuliah gratis D-2 bahasa Arab program beasiswa Timur Tengah di Ma’had ‘Utsman bin ‘Affan. Saat itu aku berharap bisa selesai D-2 dengan sukses karena dijanjikan lulusan angkatan pertama ma’had itu dapat melanjutkan kuliah ke program S-1 universitas yang berafiliasi dengan Persis. Aku tak peduli apapun afiliasinya. Yang penting jadi sarjana! Tapi tidak tuntas karena aku harus memilih antara kebutuhan perut atau kebutuhan akademik. Bekerja atau kuliah. Karena jika bekerja sebagai pengajar aku harus mengorbankan waktu kuliah yang bersinggungan dengan jam kursus.



Di saat gagal di ma’had, selain mengajar aku berkelana dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Maklum, agak susah perusahaan mempekerjakanku sebagai karyawan kendati mereka bilang keterampilanku memadai karena ijazah yang jadi patokan. Karena aku hanya bermodal transkrip nilai kuliah. Aku berganti-ganti pekerjaan untuk menyambung hidup pasca dropped-out mulai dari reporter freelance, penjual majalah Islam sampai kerja jadi ghost writer di LSM radikalJ yakni Tewas Orba atau Komite Waspada Orde Baru pimpinan Judilherry Justam (mantan aktivis UI tahun 1978 dalam kasus gugatan terhadap Presiden Soeharto) yang berafiliasi dengan Petisi 50.



Tahun 2003, aku dapat pilihan yang sama-sama menarik: bekerja di griya produksi milik artis Jeremy Thomas sebagai wartawan infotainment atau di biro penerjemahan tersumpah bernama BBS (Bilingual Business Service). Dengan prioritas menambah ilmu baru dan jarak tempuh yang relatif dekat buatku yang tak punya kendaraan pribadi, aku pilih penerjemahan itu. Lumayan enak sebetulnya sehingga aku bisa bertahan selama 3 tahun. Kantornya memang kurang bergengsi, karena menyatu dengan rumah sang boss atau pemilik dan sering terganggu dengan kesibukan rumah tangga mereka. Namun gajinya lumayan sekali untuk ukuran lajang sepertiku.Maklum, problem ijazah juga cukup menghambat untuk dapat pekerjaan lain. Mungkin aku yang S-1 Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) dapat diterima kerja di situ lebih karena bekal mengajar bahasa Inggris sebagai guru privat untuk panti asuhan, yayasan sosial dan lembaga kursus selama 3 tahun. Atau mungkin karena sang boss sendiri tak lulus kuliah S-1 di IKIP Jakarta jurusan Bahasa Inggris.



Akan tetapi lama-kelamaan aku tidak betah karena perlakuan boss yang secara psikologis tak manusiawi sekaligus sangat diskriminatif. Ia sangat Jawa-sentris. Contohnya, gaji awal ditetapkan Rp 800.000 bersih. Tanpa uang transport atau tunjangan lain. Tapi ia janji akan menaikkan gajiku jika sudah ada peningkatan setelah 3 bulan. Jika ada peningkatan kualitas terjemahan, aku bakal dapat bonus hasil terjemahan selain gaji yakni tiap per lembar hasil dihargai Rp 6000 setelah 300 halaman hasil dalam sebulan. Sebuah hak yang lebih dulu didapatkan staf penerjemah yang yang lain, yang sudah senior.Tapi nyaris 1,5 tahun tak ada perubahan. Padahal sang boss bilang aku improved, dan banyak dapat pujian klien. Padahal banyak klien lama puas dan kontrak terjemahan diperpanjang, atau tingginya repeat order.



Baru pada tahun ke-2, gajiku dinaikkan. Itu pun karena aku ketahuan melamar kerja di sebuah PH sebagai penulis skenario. Salah satu impianku memang menjadi penulis skenario. Sang boss menginterogasi aku. Itulah saatku mengemukakan argumenku dan menaikkan posisi tawar karena aku tahu betul ia tak ingin kehilangan aku. Alhasil, gajiku dinaikkan jadi Rp 1,2 juta per bulan dengan bonus Rp 6000/halaman hasil. Alhamdulilah, sejak saat itu aku bisa pegang Rp 1,5 –1,8 juta per bulan. Hanya saja perlakuan yang diskriminatif dan Perlakuan yang “tidak manusiawi” seperti salah satunya merendahkan atau menghina karyawannya di depan klien atau umum tetap saja membuatku gerah dan kadang membuatku merasa aku bekerja hanya untuk uang. Aku pun diam-diam terus kirim lamaran untuk posisi yang sekiranya ada hubungannya dengan menulis dan penerjemahan.



Meski, harus kuakui, saat di biro inilah aku bisa punya komputer setelah bertahun-tahun sejak SMP aku memimpikannya. Sewaktu SMA atau kuliah, aku biasanya menulis draft karangan yang akan dikirim di mesin ketik atau tulis tangan kemudian mengetikkannya di rental komputer terdekat. Tahun 2004, aku mengawali punya komputer dengan CPU bekas Pentium 2 seharga Rp 400 ribu. Ditambah monitor (juga) bekas Rp 50 ribu dan mouse serta keyboard (keduanya baru) kurang dari Rp 100.000, jadilah komputer yang didambakan sejak tahun 90an hadir menjadi nyata. Ya, penantian sepuluh tahunan!



Dengan modal komputer kian percaya dirilah aku untuk mandiri, jadi freelancer. Ketika di milis Penulis Lepas ada lowongan penerjemah skenario (script translator) di PT Multivision Plus via Ari ‘Kinoysan’ Wulandari, aku segera sabet kesempatan itu karena ingin ada perbaikan nasib (baca: dapat relasi dan ilmu menulis skenario). Meski lowongan itu untuk penerjemah skenario shift malam dengan jam kerja pukul 20 – 06.00 pagi. Belakangan aku tahu aku seakan jadi kelinci percobaan. Sebab itu pertamakalinya penerjemah dipekerjakan malam sama seperti jam kerjanya para editor sinetron.



Aku pun keluar dari BBS. Tidak dengan cara terhormat. Karena aku yakin gaji aku akan dipotong, atau “diteror” dengan sindiran dan makian. Terutama dari istri boss yang memang pemegang saham terbesar di biro tersebut. Suaminya pun, aku nilai , golongan ISTI (Ikatan Suami Takut Istri).



Aku mulai masuk di Multivision pada September 2005. Resminya Oktober karena September itu di pertengahan. Jika sekedar ingin dapat penghasilan lebih besar, aku tidak akan pindah ke Multivision Plus karena gaji yang aku minta sebesar Rp. 1,5 juta tidak mereka sanggupi. Mereka hanya sanggupi Rp 1,2 juta/bulan. Okelah, meskipun dengan sistem gaji di biro plus bonus, aku bisa dapat Rp 2 juta.



Awal masuk di Multivision Plus, memang rasanya bergengsi. Kendati hanya bertugas sendirian pada shift malam. Seluruh penerjemah skenario yang lain (sebanyak 3 orang) masuk normal (jam kantor). Dan bayangan aku akan dapat relasi penulis skenario ternyata jauh panggang dari api. Semua penulis skenario adalah orang luar, bukan karyawan Multivision Plus. Ari Wulandari atau Kinoysan—yang menawari job itu di milis Penulis Lepas—juga hanya script editor. Jadi penerjemah skenario hanya bertugas menerjemahkan skenario—karena sistem kejar tayang yang gila-gilaan—dengan akurat dan kecepatan tinggi dari bahasa Indonesia ke Inggris atau Inggris ke Indonesia. Dan itu pekerjaan yang luarbiasa monoton dan membosankan. Karena tak ada tantangan dalam penerjemahan bahasa. Wong, dalam skenario mayoritas dialog dan sedikit narasi. Bahasa Inggrisnya pun sederhana. Belum lagi satu malam aku “wajib” terjemahkan 50-80 hal A4 skenario. Jika tidak, tidak boleh pulang. Maklum tiga bulan pertama aku masih percobaan.



Bekerjalah aku menerjemahkan. Semula aku kira skenario itu akan dijual ke luar negeri. Ternyata, dari obrolan dengan teman-teman editor yang lebih banyak tugas malam, setiap penulis skenario di Multivision akan didampingi dengan seorang penulis skenario dari India. Maklum griya produksi itu milik klan Punjabi. Jadi begitu selesai diterjemahkan langsung diemail ke bagian naskah atau atasan aku. Juga karena 80 persen sutradara di Multivision Plus berkebangsaan India yang lebih lancar berbahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Alhasil, rutinitas itu berjalan 2 bulan. Bahkan saking bosannya, karena isinya pun menjenuhkan yang tidak jauh dari kekerasan dan makian, aku bisa menerjemahkan dengan setengah ngantuk. Hasilnya? Entahlah, yang jelas tak ada komplain. Toh, bahasa Inggris dari pihak penulis skenario India juga kadang parah, dan tak tepat kosakata atau grammar.



Jadi salah jika dianggap aku sebagai penerjemah skrip untuk tayangan teks berjalan (running text). Terjemahan aku hanya untuk terjemahan internal produksi. Dari pengamatan aku kerapkali skenario dari penulis Indonesia bagus dan tak ada elemen kekerasan. Namun ketika datang revisi dari penulis India, bertaburan caci-maki dan kekerasan.



Di tengah idealisme, kebosanan dan juga masalah income yang semena-mena di mana gajiku tak penuh dibayarkan dan jam kerja yang gila-gilaan yakni aku hanya dapat 1 kali libur Lebaran pas hari H pada bulan ketiga (awal), aku memutuskan keluar. Itu pun cabut, keluar, langsung kabur. Tanpa two-weeks notice, pemberitahuan 2 pekan sebelumnya. Konon, kata teman-teman editor, prosedurnya susah. Makanya selama 2 minggu aku dikejar-kejar terus dari pihak HRD dan diinterogasi kenapa keluar padahal peluang aku besar karena Bu Rakhee, istri Ram Punjabi, sebagai pimpinan operasional Multivision Plus (melalui lisan salah satu stafnya) sudah cocok dengan gaya terjemahanku. Namun, aku tak mau bilang bahwa yang memaksaku keluar adalah perlakuan atasanku di Script Department yang tidak becus bahasa Inggris namun tak segan-segan menyuruh aku lembur hingga jam 10 siang tanpa kompensasi apa-apa. Huh, siapa yang kuat?!



Aku punya pijakan untuk keluar, karena sewaktu di biro pun aku sudah nyambi menerjemahkan dokumen milik biro lain. Jadi ketika kerja di Multivison Plus aku malah kehilangan sumber penghasilan pendapatan itu. Dan ketika keluar dari Multivision, aku nekat terjun bebas, buka biro dan hidup full-time sebagai penerjemah. Memang ada kontrak ketat di Multivision bahwa setiap karyawan yang keluar maka selama 2 tahun setelah keluar dari Multivision tidak boleh bekerja di PH atau institusi film sejenisnya. Setiap pulang pun ada penggeledahan apakah kita menyembunyikan kertas naskah dll. Namun, para satpam itu terlalu lugu untuk menyadari bahwa dokumen juga bisa disimpan di disket. Jadi aku punya contoh skenario yang kuselundupkan via disket. Setidaknya, aku menghibur diri, aku kursus bikin skenario gratis dengan cara observasi. Dan aku kira nggak susah-susah amat ketimbang aku baca di bukunya Sony Set dan buku teori lain, Namun mungkin itu karena kualitas skenario di Multivison di bawah standar.Entahlah.



Ada hikmah yang aku ambil: portofolio pernah kerja di Multivison, itu poin penting J. Dan sebuah kesadaran bahwa aku tipe orang yang second to nobody dalam bekerja dan karir. Dan jadi freelancer atau wiraswasta jauh lebih baik.



Jika ingat perlakuan karyawan India di Multivison Plus, rasanya sakit hati sekali. Kita jadi budak di negeri sendiri. Mungkin sekarang para ekspatriat yang gajinya bisa puluhan kali lipat itu bertambah banyak karena konon stasiun TV Astro pun berkantor di kantor Multivision Plus di bilangan Roxy, Jakarta Barat. Stasiun TV kabel itu proyek kongsian perantau India Malaysia dan Indonesia.



Back to laptop, sebagai penerjemah lepas, aku tidak berpayung badan perusahaan. Klien-klienku sebagian besar adalah biro-biro penerjemahan yang mensubkontrakkan pekerjaannya kepadaku dengan honor terjemahan sekitar Rp 6.000 sampai Rp 10.000 per halaman hasil.



Salah satu pengalaman sebagai penerjemah lepas.



“Mas, ada kerjaan (terjemahan) Inggris-Indonesia, kontrak bisnis, untuk Selasa bisa nggak?” tanya klienku. Waktu itu hari Jumat.



“Berapa halaman?’



“Banyak nih, 100 halaman. Sanggup tidak? Atau di-split aja?”



Wah, lumayan nih, pikirku. “Oke, Mas, sanggup. Saya ambil semuanya.”



“Oke, nanti kurir saya antar dokumennya ke rumah. Benar ya, Mas, Selasa. Jangan sampai telat. Kalau tidak, kami kena penalty dari klien.”



Aku mengiyakan. Entahlah, aku lupa, sudah mengucapkan Insya Allah atau tidak saat itu. Yang jelas, ini order kakap. Itu yang ada dalam pikiranku.



Tak lama masuk satu orderan lagi dari bahasa Inggris untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia, sekitar 30 halaman spasi rapat, untuk hari Rabu. Aku sanggupi pula. Dalam hitung-hitunganku, 30 halaman spasi rapat itu berarti sekitar 90 halaman hasil. Kalikan saja dengan Rp 7.000, lumayan kan? Eh, ‘ndilalah, ada lagi order terjemahan ekspres untuk keesokan harinya 10 halaman. Ini berarti double price, honornya bisa Rp 14.000 sampai Rp. 20.000 per halaman hasil. Juga aku ambil. Saat itu aku tidak ada niatan untuk mengoper sebagian orderan itu ke penerjemah lain. Yang lebih aku pikirkan banyaknya uang yang bakal aku dapat sendirian. Sebab jika dibagi dengan penerjemah lain otomatis pendapatanku berkurang. Bayang-bayang penghasilan sekitar Rp 2,5 juta dalam waktu kurang dari sepekan lebih menggiurkan saat itu.



Alhasil keserakahanku menyeretku dalam perjibakuan dari Jumat sampai Selasa dengan ketiga order terjemahan dengan total halaman hasil sekitar 300 halaman lebih. Padahal kemampuanku menerjemahkan dokumen adalah 30 halaman spasi dua dalam sehari. Ketika tenggat berjatuhan, mulailah bencana itu. Dua orderan memang terkejar tuntas pada waktunya meski di ujung-ujung injury time. Namun justru orderan pertama sebanyak 100 halaman tak tertanggulangi. Aku gagal menyelesaikannya tepat waktu. Selisihnya pun jauh, masih separuh halaman lagi. Aku minta maaf pada pemilik biro tersebut yang habis-habisan memakiku. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, aku gratiskan klienku tersebut untuk tak perlu membayar jumlah halaman yang sudah aku kerjakan. Ini musibah betul buatku. Klien itu termasuk klien yang rajin menyuplai order kepadaku, dan hubungan bisnis kami sudah terbina hampir separuh perjalananku bekerja SOHO. Aku pun sudah berpikir ia akan memasukkanku dalam daftar hitam penerjemah. Alamat sepi order.



Memang setelah itu entah bagaimana order sepi. Bahkan dalam dua minggu aku hanya dapat order terjemahan dokumen 20 halaman. Untungnya aku hobi menulis sehingga dapat mengisi waktu yang lowong dengan menulis. Namun hikmahnya adalah dalam waktu sekitar tiga pekan kosong tanpa order terjemahan aku punya banyak waktu luang untuk menemani aba’ ngobrol di ruang depan. Bekerja SOHO tidak serta-merta menjamin kita bisa dekat dengan keluarga atau orang-orang yang kita sayangi. Terlebih jika Anda orang yang workaholic dan tidak mempekerjakan orang lain untuk membantu pekerjaan Anda.



Selang dua hari kemudian datang kurir dari biro klien yang aku kira sudah memasukkanku dalam daftar hitamnya. Ada kerjaan yang tenggatnya seminggu. Total honor Rp. 300.000. Lumayanlah, yang penting aku masih mendapat kepercayaan. Itu hal yang mahal dalam bisnis. Berturut-turut masuk order terjemahan lain dari biro-biro rekananku yang lain. Total omzetku sepekan itu Rp. 2 juta lebih. Namun pendapatan freelancer memang turun naik. Pernah juga dalam sebulan hanya kurang dari 10 order yang datang dari yang rata-rata 15 belasan order per bulan. Inilah seninya untuk berpromosi dan meningkatkan strategi pemasaran.



Karena tidak berpayung badan hukum dan juga belum lulus ujian penerjemah tersumpah (sworn translator) sehingga tidak berhak pakai stempel, aku lebih mengandalkan subkontrak biro penerjemahan di samping order dari klien individual langsung. Rata-rata biro penerjemahan di Jakarta, contohnya, untuk menghemat biaya mensubkontrakkan terjemahan hukum kepada para penerjemah lepas atau freelance translator yang belum berpredikat sworn translator. Namun ada beberapa jenis terjemahan yang hanya boleh ditangani oleh penerjemah tersumpah. Tentunya tarif penerjemah non-tersumpah dan penerjemah tersumpah beda.



Sekedar buka rahasia dapur, bila untuk subkontrak terjemahan, penerjemah tersumpah bisa mengantungi minimal Rp. 20 ribu sampai Rp 50 ribu per lembar hasil maka penerjemah non-tersumpah hanya pada kisaran Rp 6 ribu sampai 10 ribu per lembar hasil. Ini untuk bidang bahasa Inggris. Perlu diingat ini harga rata-rata di pasar karena sebetulnya standar HPI sebagai organisasi resmi penerjemah cukup tinggi. Yakni 50 ribu rupiah per halaman hasil. Namun sering atas nama kompetisi pasar para penerjemah dan biro penerjemahan melakukan strategi banting harga. Nah, untuk bahasa lain seperti Mandarin, Perancis, Arab atau Jerman biasanya lebih tinggi. Bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Terlebih penerjemah tersumpah untuk bidang bahasa selain Inggris sangat sedikit.



Setiap tahun untuk bidang bahasa Inggris saja ujian penerjemah tersumpah yang diselenggarakan PPFIB UI hanya meluluskan maksimal sekitar 5% peserta saja.Untuk bidang bahasa lain, bukan hal aneh jika dalam beberapa tahun tidak ada peserta yang berhasil lolos dan berhak diwisuda oleh Gubernur DKI Jakarta dan menggondol sertifikat yang resmi ditandatangani gubernur DKI.



Dan untuk memperluas pasar, jejaring atau network justru lebih berperan penting ketimbang latarbelakang pendidikan. Di kalangan penerjemah dokumen hukum Jakarta sudah rahasia umum adanya IKIP Jakarta connection. Jaringan alumni atau yang pernah kuliah di IKIP Jakarta khususnya jurusan Bahasa Inggris umumnya banyak jadi penerjemah karena jasa teman-teman satu almamater. Dalam pengalamanku, banyak order atau klien datang karena jejaring yang aku bangun semasa masih menjadi staf penerjemah di sebuah biro penerjemahan tersumpah. Termasuk jejaring semasa menjadi pengajar bahasa Inggris di berbagai kursus.



Deadline!

Sebuah catatan kecil perjuangan freelancer.



Malam Minggu. Malam yang panjang. Yap, sepanjang tumpukan halaman proposal proyek yang harus selesai diterjemahkan besok pagi. Malam yang singkat, karena rasanya 24 jam tak cukup. Kuhitung-hitung sudah 3 malam ini tidur kurang dari 4 jam! Akhir tahun bagi para penerjemah dokumen hukum (notaris, akte PT, dll) memang selalu menyenangkan sekaligus melelahkan. Inilah waktu tutup buku perusahaan yang berarti banyak dokumen mesti diterjemahkan.



'Kutengok sejenak tumpukan kamus dan dokumen di ranjang. Hm..deadline!



Di atas hard disk, tumpukan dokumen laporan tugas study tour sebuah SMA swasta. Deadline buat besok pagi. Ini pun sudah molor 1 hari. Mestinya tadi pagi. Beginilah jika penerjemah punya penyakit moody dan sindrom last-minutes.



Di depan mataku, laporan akhir tahun perusahaan garmen. Deadline tanggal 26 Desember 2006. Alhasil, tgl 25 tidak bisa santai meski tanggal merah. Ya, iyalah. C'on, Nursalam, who you are actually? Yup, pekerja SOHO yang nekat 14 bulan ini buka biro penerjemahan hukum dengan modal dengkul setelah "terjun bebas" dari sebuah PH terkemuka di Jakarta. Karena sistem kerja yang kejar tayang dan intimidasi rekan kerja yang kebanyakan India--maklum satu klan sama the owner--maka pekerjaan penerjemah skenario (script translator) pun ditanggalkan. Bye! Bye!



Di atas bantal, novel sains-fiksi karya teman FLP-ku teronggok. Acuan untuk editing cetakan kedua yang telah mengendon di hard disk PC-ku hampir empat bulan. Beginilah, debut pertama jadi editor. Ternyata benar kata Stephen King,"Menulis itu pekerjaan manusia, sementara mengedit itu pekerjaan dewa." Yang satu ini 'kutargetkan akhir tahun bisa tuntas. Meski masih 3 bab lagi.



Di sebelah kananku, di atas meja kecil tempat cemilan dan kopi serta teh Tong Jie (komplit kan!), coret-coretanku untuk draft buku non-fiksi pertamaku. Insya Allah, deadline-nya awal Januari ini (Insya Allah--terbit Juli atau Agustus-pen) dari penerbit DAR! MIZAN. Temanya? Ehm..tentang pernikahan. Aneh kan? Lajang nulis tentang pernikahan? Tapi dari sisi lajang cowok. Karena sobatku yang maniez en baik hati, Dedew (yang mengajakku dalam proyek ini) menggarap seri lajang cewek. Dia sendiri mantan lajang. Masih hangat-hangatnya, baru empat bulan nikah. Duh, bikin ngiri aja!



Di kanan jauh, di tumpukan buku-bukuku yang awalnya diniatkan perpustakaan pribadi, ada 2 buku yang niatnya aku ketik ulang untuk koleksi buku e-book bagi teman-teman tunanetra di Yayasan Mitra Netra, Jakarta. Sejak gabung di YMN pada Januari 2006, baru 1 buku yang aku ketik ulang dan sudah jadi e-book: Jalan Daendels-nya Pramoedya Ananta Toer. Itu pun harus makan waktu empat bulan lebih. Meski cuma 150an halaman. Nah, dua buku ini targetku selesai akhir Januari. Insya Allah.



Ufs! Ternyata banyak juga amanahku. Tadi baru saja tuntas satu tugas dipercayakan teman-teman di milis Sekolah Kehidupan untuk jadi editor buku antologi kisah-kisah berhikmah bersama Indarpati alias Indarwati Harsono, sang penulis cerbung dan cerpen di Annida dan Sabili. Alhamdulillah. Rencananya masuk ke penerbit awal Januari (alhamdulillah sekarang buku itu siap launching pada 15 Juli 2007-pen). Insya Allah, jadi bukuku yang ke-3 setelah buku kumpulan puisi bersama Komunitas Puisi FLP (Pustaka Jamil, Jakarta, Agustus, 2006) dan kumcer sastra marjinal bersama Nera Andiyanti, Rosidi, Indarpati, Udo Z. Karzi dll (Gapuradja Media, Semarang, September 2006).



"Menulis adalah memberi," kata Eka Budianta, sang penyair. Ah, rasanya perlu seduh kopi lagi. Mata sudah mengelayut berat. Lantas sholat malam barang dua raka'at. Memohon biar daku kuat. Paling tidak kuat didamprat klien bila telat. Karena sebagian klien bisa dengan tega-teganya menagih pekerjaan di hari libur. Ah, jika tak ingat sedang kejar setoran untuk deadline yang satu itu...



Jodoh!

Penerjemah lepas juga manusia. Ia punya cinta. Cinta pertamaku seorang gadis Betawi campuran Sunda. Namun cinta itu kandas. Ibunya menolak lamaranku dengan alasan “belum mapan” dan stereotipe yang melekat pada orang Betawi: “pemalas” dan “tukang kawin”. Duh!



Ikhtiarku tak berhenti begitu saja. Kali ini lewat jalur lain, melalui murobbi alias guru ngaji, aku mengajukan “proposal” untuk seorang akhwat teman seangkatanku semasa kuliah. Fisiknya biasa saja namun aku kagumi semangat dakwah dan komitmennya dalam beramal. Namun, setelah menunggu jawaban nyaris dua bulan lamanya, ia menolakku—melalui jawaban lisan dari sang murobbiyah—karena dianggap “kurang sholeh”. Ah, nasib!



“’Afwan ya, Lam. Sebetulnya si akhwat udah mau. Dia kan seangkatan antum. Jadi tahu kiprah antum di organisasi kampus. Tapi ada poin yang memberatkan. Jadi, atas rekomendasi murobbiyahnya, antum ditolak.” Itu jawaban sang akhwat melalui lisan murobbiku. Saat itu guruku berusaha menyampaikan dengan hati-hati dan empati. Namun apa pun bentuk penyampaiannya, hatiku terlanjur luluh-lantak.Ya Allah, rasanya aku punya stempel dosa di dahi yang tak terhapus. Kisah pertemuan dengan ‘cinta pertama’ yang sudah beberapa tahun lewat jadi bayang-bayang yang menghambat perjodohanku. Dua ta’aruf berikutnya juga bernasib sama. Bahkan tanpa alasan yang jelas. Ya, sudahlah!



Hingga akhirnya aku berkenalan dengan seorang gadis yang awalnya sahabat pena selama lima tahun. Tanpa ada tendensi apa-apa. Aku mengenalnya melalui rubrik sahabat pena di sebuah majalah Islam. Karena hobinya membaca, aku sering kirimi ia tulisan-tulisanku. Dan ia seorang pengapresiasi dan kritikus yang baik. Kami mendiskusikannya via telepon dan email. Awalnya tidak ada rasa apa-apa. Hanya saja ia memang teman diskusi yang enak. Sama juga seperti para “kandidat” sebelumnya. Bedanya, ia bisa terima aku dan pekerjaanku. Just take me the way I am, itu saja syaratnya. Toh, freelancer juga manusia yang butuh dimanusiakan. Waktu yang akan berbicara. Seperti lagu rakyat Swahili di Afrika bahwa hidup adalah perjuangan, dan kalah atau menang adalah Tuhan yang menentukan. Doa-doa pun rajin dipanjatkan.



Hidup pun berjalan terus. Perjuangan akan terus berjalan seiring ujian dan masalah yang datang. Karena masalah seperti halnya rejeki hanya akan berhenti ketika ajal menjemput. Catatan ini pun hanya bagian dari sebuah rekam jejak yang moga bermanfaat. Bukan sebuah catatan akhir atau kesimpulan yang menjadi akhir sebuah kisah. Karena, mengenang pesan K.H. Agus Salim—salah satu tokoh idolaku—bahwa “jangan menilai hari sebelum petang”.

Jakarta, 10 Juli 2007

sumber: http://nursalam.multiply.com/journal/item/105/Diary_Setangkup_Kisah_Hidup


Tidak ada komentar: